Minggu, 14 November 2010

Trilogi Dakwah Nabi dan Civil Society

Prof. Dr. Tolhah Hasan: Trilogi Dakwah Nabi dan Civil Society
Terkait dengan kebijakan-kebijakan yang dirasa kurang menguntungkan bagi rakyat, Apa tindakan Kyai?

Kita semua punya hak dan kewajiban untuk melakukan amar ma'ruf nahi munkar. Masing-masing kita harus jeli dengan melihat posisi kita di mana? dan cara apa yang kita lakukan? tentang bagaimana kita akan menyusun rencana dan kita melangkah. Seorang anggota DPR senantiasa melakukan program secara maksimal dan dialah yang mengerti seluk beluk instansi itu. Diluar itu ada kalangan pers yang senantiasa memonitor kejadian-kejadian yang terjadi di lapangan dan disampaikan dengan bahasa yang informatif kepada masyarakat. Kesemuanya harus bersemangatkan adil, karena ruh keadilan itu bersumber dari agama Islam.

'Ad-dhoror la yuzalu bidhoror'

Konsep ini menuntut dengan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban. Seorang Ulama harus memegang teguh prinsip itu. Jika saja kita datang ke pejabat, ya jangan meminta sumbangan saja, akan tetapi berikan pikiran-pikiran yang konstruktif (membangun).

Akan timbul kekacauan lebih besar jika seorang da'i mengolok-olok kinerja pemerintah, tanpa dibarengi semangat adil. Kalau pemerintah melakukan kesalahan, maka ingatkan dengan lisan yang ringan, tapi mengena. Mekanisme dakwah yang tidak dibarengi dengan semangat adil itu bertentangan dengan syariat, ad-dhoror la yuzallu biddhoror.

Poin yang tidak kalah penting adalah peningkatan kualitas dakwah, artinya kita juga harus mengerti secara detail perkara yang kita dakwahi, dan problem-problem yang ada. Semisal masalah ekonomi maka seorang da'i juga harus mendalami masalah ekonomi, syukur-syukur kita memberi masukan yang bisa meringankan masalah mereka.
Lantas apa yang dimaksud dengan masyarakat Madani itu?

Natural society-masyarakat awam tanpa pemerintah, kemudian mereka butuh siapa yang menjadi pemerintah, dan siapa yang diperintah? Akhirnya terbentuklah kesepakatan antara mereka maka dengan demikian terbentuklah political society (masyarakat politik). Realitas yang terjadi kemudian adalah penguasa terlalu berlebih-lebihan dari yang dipimpin, dan rakyat hanya sebagai . Ini terjadi di negara Saudi Arabia yang berbentuk kerajaan, faktanya rakyat hanya diberi beberapa persen suatu kewenangan saja, selebihnya milik Kerajaan . Dari fenomena itulah ada kesadaran baru, membuat kontrak-kontrak sosial, masyarakat harus punya kekuatan tersendiri yang mengimbangi kekuatan pemerintah. Inilah fenomena civil society (masyarakat madani).

Untuk memberdayakan masyarakat itu banyak mekanismenya, jangan dipaku dalam satu pendapat saja, biarkan kebebasan pers mengungkap, dan pemerintah mempunyai cara tersendiri untuk menilainya. Dalam bidang ekonomi masyarakat harus punya hak untuk membangun perekonomian mereka, tidak harus selalu menunggu dari pemerintah.

Ujung-ujungnya ketidakberhasilan masyarakat mencapai tingkat civil society, karena kebodohan masyarakat saja, disamping tingkat pendidikan mereka yang sangat rendah. Ada ketimpangan pendidikan antara pemimpin dengan yang dipimpin. Berbeda dengan di Australia, Singapura dan beberapa negara maju lainnya, gaji seorang guru bisa sama dengan seorang menteri atau anggota dewan.

Dalam pelayanan kesehatan misalnya, daerah yang terbelakang penyelenggaraannya dilakukan oleh pemerintah saja, sedangkan didaerah yang maju pelayanan kesehatan telah dilakukan oleh masyarakat sendiri.
Ada fase-fase dakwah yang mungkin telah dicontohkan oleh Rasulullah, klimaksnya adalah masyarakat madani (civil society) yang menjadi idaman kita sekarang?

Sebuah hadits menerangkan evaluasi dakwah nabi, dan beliau bertanya kepada sahabat yang berbunyi:

'Alastum dhulalan fahadakumullah? Wakuntum fariiqon fa allafallahu quluubakum? Akuntum fuqoro fa agnakumullah?'

Pernyataan hadits yang pertama berbunyi

'Alastum dhulalan fahadakumullah?'

Tidakkah kalian kaum yang tersesat (penyembah berhala, penyembah api), maka Allah memberi hidayat pada kalian berupa agama Islam.

Ini adalah fase pertama dakwah yaitu menyelamatkan umat dari akidah yang sesat, yang menyimpang dari agama yang diridloi Allah.

Potongan selanjutnya berbunyi

'Wakuntum mutafarriqiin fa allafakumullah'.

Dulu kalian adalah kaum yang bermusuhan satu sama lain.

Maka dengan kedatangan Islam, Allah mengubah hati-hati kalian dari masyarakat konflik menuju masyarakat yang bersatu satu sama lain. Jangan kemudian dibalik, dari masyarakat yang rukun menjadi masyarakat yang berpecahbelah, setelah menerima dakwah itu.

Yang terakhir adalah

'akuntum 'aalatan fa aghnakumullah '.

Hal ini berarti setelah melalui dua konsep treatment dakwah tersebut, langkah dakwah selanjutnya adalah membangun sebuah kekuatan ekonomi, yang bermanfaat bagi upaya kesejahteraan umat Islam.

'Tiga fase dakwah itu harus dipegang oleh seorang da'i, agar tidak kemudian lupa pada dakwah yang dilakukannya. Kebanyakan lupa kalau tugas mereka bukan hanya menerima amplop, malahan harus menyejahterakan mereka '. Ujar beliau menyinggung kita sebagai kader dakwah masa depan yang diharap mengerti betul permasalahan umat mendatang.
Bagaimana penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah, apakah sudah sesuai dengan apa yang diterapkan oleh nabi kepada sahabatnya?

Saya tidak menilai apakah kurikulum itu sudah sesuai apa betul, namun jika saja kita mau merubah metodologi yang diajarkan alangkah baiknya. Kurikulum yang sedikit dengan metodologi yang bagus itu lebih sesuai dari pada kurikulum yang banyak dengan metodologi yang tidak mengena alias asal jalan saja. Contoh saja mengapa pelajaran Bahasa Arab dari Ibtida'iyyah sampai aliyah yang disampaikan tidak bisa melekat betul pada anak didik kita. Jika saja dikumpulkan pada orang arab, tetap saja mereka tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Padahal pendidikan bahasa paling efektif bisa diajarkan selama enam bulan saja. Ini bukan Bahasa Arabnya yang salah, atau kurikulumnya yang tidak efektif, akan tetapi metodologinya yang tidak mengena. Sangat tidak efektif dan buang-buang waktu. Metodologi yang efektif dan masalah kompetensi guru sangat mutlak diperlukan dan ditingkatkan.
Bagaimana kyai mensosialisasikan hal-hal yang demikian kepada Pemerintah?

Ya Jelas sudah saya lakukan, sekuat kemampuan saya, bukan harus lewat podium saja.Lewat kunjungan ke Presiden saya telah sampaikan kemarin. Presiden malah balik tanya,

"Kenapa NU sekarang senang membahas perihal sosial?"

Jawab saya,

"Ya bagaimana tidak, wong lingkungan kita dan warga kita benar-benar ikut larut dalam musibah yang selama ini terjadi di Indonesia. Dari tanah longsong, hujan, lumpur Lapindo, gunung meletus, kebanyakan korban adalah masyarakat NU, jadi dengan mengurus mereka bukan berarti meninggalkan dakwah, akan tetapi mengubah manhaj dakwah kita dari dakwah podium menjadi dakwah yang mengubah kesejahteraan hidup masyarakat kita."
sumber http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/dalwa.bangil/cgi-bin/dalwa.cgi/al_bashiroh/artikel/40-jan08-tolhah_hasan_trilogi_dakwah_civil_society.single?seemore=y

Bekal pernikahan [1]

Bekal pernikahan [1]

Oleh : Dr M. Quraish Shihab


Kamus Besar Bahasa Indonesia mengertikan kata "nikah" sebagai (1) perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami isteri (dengan rasmi); (2) perkahwinan. Al-Quran menggunakan kata ini untuk makna tersebut, di samping secara majazi diertikannya dengan "hubungan seks". Kata ini dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 23 kali. Secara bahasa pada mulanya kata nikah digunakan dalam erti "berhimpun".

Al-Quran juga menggunakan kata zawwaja dan kata zauwj yang bererti "pasangan" untuk makna di atas. Ini kerana pernikahan menjadikan seseorang memiliki pasangan. Kata tersebut dalam berbagai bentuk dan maknanya terulang tidak kurang dari 80 kali.

Secara umum Al-Quran hanya menggunakan dua kata ini untuk menggambarkan terjalinnya hubungan suami isteri secara sah. Memang ada juga kata wahabat (yang bererti "memberi") digunakan oleh Al-Quran untuk melukiskan kedatangan seorang wanita kepada Nabi Saw., dan menyerahkan dirinya untuk dijadikan isteri. Tetapi agaknya kata ini hanya berlaku bagi Nabi Saw. (QS Al-Ahzab [33]: 50).

Kata-kata ini, mempunyai implikasi hukum dalam kaitannya dengan ijab kabul (serah terima) pernikahan, sebagaimana akan dijelaskan kemudian.

Pernikahan, atau tepatnya "keberpasangan" merupakan ketetapan Ilahi atas segala makhluk. Berulang-ulang hakikat ini ditegaskan oleh Al-Quran antara lain dengan firman-Nya:

Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu menyedari (kebesaran Allah) (QS Al-Dzariyat [51]: 49).

Mahasuci Allah yang telah menciptakan semua pasangan, baik dari apa yang tumbuh di bumi, dan dari jenis mereka (manusia) mahupun dari (makhluk-makhluk) yang tidak mereka ketahui (QS Ya Sin [36]: 36).

BERPASANGAN ADALAH FITRAH

Mendambakan pasangan merupakan fitrah sebelum dewasa, dan dorongan yang sulit dibendung setelah dewasa. Oleh kerana itu, agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara lelaki dan wanita, dan kemudian mengarahkan pertemuan itu sehingga terlaksananya "perkahwinan", dan beralihlah kerisauan lelaki dan wanita menjadi ketenteraman atau sakinah dalam istilah Al-Quran surat Ar-Rum (30): 21. Sakinah terambil dari akar kata sakana yang bererti diam/tenangnya sesuatu setelah bergejolak. Itulah sebabnya mengapa pisau dinamai sikkin kerana ia adalah alat yang menjadikan binatang yang disembelih tenang, tidak bergerak, setelah tadinya ia meronta. Sakinah --kerana perkahwinan-- adalah ketenangan yang dinamis dan aktif, tidak seperti kematian binatang.

Guna tujuan tersebut Al-Quran antara lain menekankan perlunya kesiapan fisik, mental, dan ekonomi bagi yang ingin menikah. Walaupun para wali diminta untuk tidak menjadikan kelemahan di bidang ekonomi sebagai alasan menolak peminang: "Kalau mereka (calon-calon menantu) miskin, maka Allah akan menjadikan mereka kaya (berkecukupan) berkat anugerah-Nya" (QS An-Nur [24]: 31). Yang tidak memiliki kemampuan ekonomi dianjurkan untuk menahan diri dan memelihara kesuciannya "Hendaklah mereka yang belum mampu (kahwin) menahan diri, hingga Allah menganugerahkan mereka kemampuan" (QS An-Nur [24]: 33)

Di sisi lain perlu juga dicatat, bahawa walaupun Al-Quran menegaskan bahawa berpasangan atau kahwin merupakan ketetapan Ilahi bagi makhluk-Nya, dan walaupun Rasul menegaskan bahawa "nikah adalah sunnahnya", tetapi dalam saat yang sama Al-Quran dan Sunnah menetapkan ketentuan-ketentuan yang harus diindahkan --lebih-lebih kerana masyarakat yang ditemuinya melakukan praktik-praktik yang amat berbahaya serta melanggar nilai-nilai kemanusiaan, seperti misalnya mewarisi secara paksa isteri mendiang ayah (ibu tiri) (QS Al-Nisa' [4]: 19).

Bahkan menurut Al-Qurthubi ketika larangan di atas turun, masih ada yang mengahwini mereka atas dasar suka sama suka sampai dengan turunnya surat Al-Nisa' [4]: 22 yang secara tegas menyatakan.

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu tetapi apa yang telah lalu (dimaafkan oleh Allah).

Imam Bukhari meriwayatkan melalui isteri Nabi, Aisyah, bahawa pada masa Jahiliah, dikenal empat macam pernikahan. Pertama, pernikahan sebagaimana berlaku kini, dimulai dengan pinangan kepada orang tua atau wali, membayar mahar dan menikah. Kedua, adalah seorang suami yang memerintahkan kepada isterinya apabila telah suci dari haid untuk menikah (berhubungan seks) dengan seseorang, dan bila ia telah hamil, maka ia kembali untuk digauli suaminya; ini dilakukan guna mendapat keturunan yang baik. Ketiga, sekelompok lelaki kurang dari sepuluh orang, kesemuanya menggauli seorang wanita, dan bila ia hamil kemudian melahirkan, ia memanggil seluruh anggota kelompok tersebut --tidak dapat absen-- kemudian ia menunjuk salah seorang pun yang seorang yang dikehendakinya untuk dinisbahkan kepadanya nama anak itu, dan yang bersangkutan tidak boleh mengelak. Keempat, hubungan seks yang dilakukan oleh wanita tunasusila, yang memasang bendera atau tanda di pintu-pintu kediaman mereka dan "bercampur" dengan siapa pun yang suka kepadanya. Kemudian Islam datang melarang cara perkahwinan tersebut kecuali cara yang pertama.

SIAPA YANG TIDAK BOLEH DINIKAHI?

Al-Quran tidak menentukan secara rinci tentang siapa yang dikahwini, tetapi hal tersebut diserahkan kepada selera masing-masing:

Maka kahwinilah siapa yang kamu senangi dari wanita-wanita (QS An-Nisa [4]: 3)

Meskipun demikian, Nabi Muhammad Saw. menyatakan,

Biasanya wanita dinikahi kerana hartanya, atau keturunannya, atau kecantikannya, atau kerana agamanya. Jatuhkan pilihanmu atas yang beragama, (kerana kalau tidak) engkau akan sengsara (Diriwayatkan melalui Abu Hurairah).

Di tempat lain, Al-Quran memberikan petunjuk, bahawa Laki-laki yang berzina tidak (pantas) mengahwini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak pantas dikahwini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik (QS Al-Nur [24): 3).

Walhasil, seperti pesan surat Al-Nur (24): 26, "Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji. Dan Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)".

Al-Quran merinci siapa saja yang tidak boleh dikahwini seorang laki-laki.

Diharamkan kepada kamu mengahwini ibu-ibu kamu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapamu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusukan kamu, saudara perempuan sepesusuan, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengahwininya; (dan diharamkan juga bagi kamu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkahwinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan diharamkan juga mengahwini wanita-wanita yang bersuami (QS Al-Nisa' [4]: 23-24).

Kalaulah larangan mengahwini isteri orang lain merupakan sesuatu yang dapat dimengerti, maka mengapa selain itu --yang disebut di atas-- juga diharamkan? Di sini berbagai jawaban dapat dikemukakan.

Ada yang menegaskan bahawa perkahwinan antara keluarga dekat, dapat melahirkan anak cucu yang lemah jasmani dan rohani, ada juga yang meninjau dari segi keharusan menjaga hubungan kekerabatan agar tidak menimbulkan perselisihan atau perceraian sebagaimana yang dapat terjadi antara suami isteri.

Ada lagi yang memandang bahawa sebahagian yang disebut di atas, berkedudukan semacam anak, saudara, dan ibu kandung, yang kesemuanya harus dilindungi dari rasa berahi. Ada lagi yang memahami larangan perkahwinan antara kerabat sebagai upaya Al-Quran memperluas hubungan antara keluarga lain dalam rangka mengukuhkan satu masyarakat.

PERKAHWINAN ANTARA PEMELUK AGAMA YANG BERBEDA

Al-Quran juga secara tegas melarang perkahwinan dengan orang musyrik seperti Firman-Nya dalam surat Al-Baqarah (2):

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman.

Larangan serupa juga ditujukan kepada para wali agar tidak menikahkan perempuan-perempuan yang berada dalam perwaliannya kepada laki-laki musyrik.
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman (QS A1-Baqarah [2]: 221).

Menurut sementara ulama walaupun ada ayat yang membolehkan perkahwinan lelaki Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab (penganut agama Yahudi dan Kristen), yakni surah Al-Maidah (51: 5 yang menyatakan, "Dan (dihalalkan pula) bagi kamu (mengawini) wanita-wanita terhormat di antara wanita-wanita yang beriman, dan wanita-wanita yang terhormat di antara orang-orang yang dianugerahi Kitab (suci) "(QS Al-Ma-idah [5]: 5).

Tetapi izin tersebut telah digugurkan oleh surat Al-Baqarah ayat 221 di atas. Sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Umar, bahkan mengatakan:

"Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dan kemusyrikan seseorang yang menyatakan bahawa Tuhannya adalah Isa atau salah seorang dari hamba Allah."

Pendapat ini tidak didukung oleh majoriti sahabat Nabi dan ulama. Mereka tetap berpegang kepada teks ayat yang membolehkan perkahwinan semacam itu, dan menyatakan bahawa walaupun aqidah Ketuhanan ajaran Yahudi dan Kristen tidak sepenuhnya sama dengan aqidah Islam, tetapi Al-Quran tidak menamai mereka yang menganut Kristen dan Yahudi sebagai orang-orang musyrik. Firman Allah dalam surat A1-Bayyinah (98): 1 dijadikan salah satu alasannya.

Orang kafir yang terdiri dari Ahl Al-Kitab dan Al-Musyrikin (menyatakan bahawa) mereka tidak akan meninggalkan agamanya sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata (QS. Al-Bayyinah [98]: 1).

Ayat ini menjadikan orang kafir terbahagi dalam dua kelompok berbeza, iaitu Ahl Al-Kitab dan Al-Musyrikin. Perbezaan ini dipahami dari kata "wa" yang diterjemahkan "dan", yang oleh pakar bahasa dinyatakan sebagai mengandung makna "menghimpun dua hal yang berbeda."

Larangan mengahwinkan perempuan Muslimah dengan lelaki non-Muslim --termasuk lelaki Ahl Al-Kitab-- diisyaratkan oleh Al-Quran. Isyarat ini dipahami dari redaksi surah Al-Baqarah (2): 221 di atas, yang hanya berbicara tentang bolehnya perkahwinan lelaki Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab, dan sedikit pun tidak menyinggung sebaliknya. Sehingga, seandainya pernikahan semacam itu dibolehkan, maka pasti ayat tersebut akan menegaskannya.

Larangan perkahwinan antara pemeluk agama yang berbeza itu agaknya dilatarbelakangi oleh harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarga. Perkahwinan baru akan langgeng dan tenteram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antara suami dan isteri, karena jangankan perbezaan agama, perbezaan budaya, atau bahkan perbezaan tingkat pendidikan antara suami dan isteri pun tidak jarang mengakibatkan kegagalan perkahwinan. Memang ayat itu membolehkan perkahwinan antara lelaki Muslim dan perempuan Utul-Kitab (Ahl Al-Kitab), tetapi kebolehan itu bukan saja sebagai jalan keluar dari kebutuhan mendesak ketika itu, tetapi juga kerana seorang Muslim mengakui bahawa Isa a.s. adalah Nabi Allah pembawa ajaran agama. Sehingga, lelaki yang biasanya lebih kuat dari wanita --jika beragama Islam-- dapat mentoleransi dan mempersilakan Ahl Al-Kitab menganut dan melaksanakan syariat agamanya,

Bagi kamu agamamu dan bagiku agamaku (QS Al-Kafirun [109]: 6).

Ini berbeza dengan Ahl Al-Kitab yang tidak mengakui Muhammad Saw. sebagai nabi.

Di sisi lain harus pula dicatat bahawa para ulama yang membolehkan perkahwinan lelaki Muslim dengan Ahl Al-Kitab, juga berbeza pendapat tentang makna Ahl Al-Kitab dalam ayat ini, serta keberlakuan hukum tersebut hingga kini. Walaupun penulis cenderung berpendapat bahawa ayat tersebut tetap berlaku hingga kini terhadap semua penganut ajaran Yahudi dan Kristen, namun yang perlu diingat bahawa Ahl Al-Kitab yang boleh dikahwini itu, adalah yang diungkapkan dalam redaksi ayat tersebut sebagai "wal muhshanat minal ladzina utul kitab". Kata al-muhshnnat di sini bererti wanita-wanita terhormat yang selalu menjaga kesuciannya, dan yang sangat menghormati dan mengagungkan Kitab Suci. Makna terakhir ini difahami dari penggunaan kata utuw yang selalu digunakan Al-Quran untuk menjelaskan pemberian yang agung lagi terhormat. [1] Itu sebabnya ayat tersebut tidak menggunakan istilah Ahl Al-Kitab, sebagaimana dalam ayat-ayat lain, ketika berbicara tentang penganut ajaran Yahudi dan Kristen.

Pada akhirnya betapa pun berbeda pendapat ulama tentang boleh tidaknya perkahwinan Muslim dengan wanita-wanita Ahl Al-Kitab, namun seperti tulis Mahmud Syaltut dalam kumpulan fatwanya.[2]

Pendapat para ulama yang membolehkan itu berdasarkan kaedah syar'iyah yang normal, iaitu bahawa suami memiliki tanggung jawab kepemimpinan terhadap isteri, serta memiliki wewenang dan fungsi pengarahan terhadap keluarga dan anak-anak. Adalah kewajiban seorang suami Muslim --berdasarkan hak kepemimpinan yang disandangnya-- untuk mendidik anak-anak dan keluarganya dengan akhlak Islam. Laki-laki diperbolehkan mengahwini non-Muslimah yang Ahl Al-Kitab, agar perkahwinan itu membawa misi kasih sayang dan harmonisme, sehingga terkikis dari hati isterinya rasa tidak senangnya terhadap Islam. Dan dengan perlakuan suaminya yang baik yang berbeza agama dengannya itu, sang isteri dapat lebih mengenal keindahan dan keutamaan agama Islam secara amaliah praktis, sehingga ia mendapatkan dari dampak perlakuan baik itu ketenangan, kebebasan beragama, serta hak-haknya yang sempurna, lagi tidak kurang sebaik isteri.

Selanjutnya Mahmud Syaltut menegaskan bahawa kalau apa yang dilukiskan di atas tidak terpenuhi --sebagaimana sering terjadi pada masa kini-- maka ulama sepakat untuk tidak membenarkan perkahwinan itu, termasuk oleh mereka yang tadinya membolehkan.

Kalau seorang wanita Muslim dilarang kahwin dengan non-Muslim kerana kekhuawatiran akan terpengaruh atau berada di bawah kekuasaan yang berlainan agama dengannya, maka demikian pula sebaliknya. Perkahwinan seorang lelaki Muslim, dengan wanita Ahl Al-Kitab harus pula tidak dibenarkan jika dikhuawatirkan ia atau anak-anaknya akan terpengaruh oleh nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.